Selasa, 05 Juni 2012

SUPREMASI HUKUM


            

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penegakan hukum di suatu negara sangatlah penting, karena sangat pentingnya hukum di suatu negara akan menciptakan masyarakat yang kondusif dan tenang bagi warganya dan sekaligus warga akan sangat menghormati hukum itu sendiri. Indonesia sendiri adalah negara hukum. Hal ini tertuang jelas dalam Pasal 1 ayat  (3) UUD 1945 Perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.(UUD 1945) Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945, 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Di Indonesia belum tercipta tiga prinsip dasar tersebut yang sesuai harapan dengan terciptanya keadilan. Idealnya keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Akan tetapi dalam kenyataannya, selama ini yang berkuasa dan yang mempunyai uang banyaklah yang selalu dimenangkan oleh hukum, walaupun telah melanggar aturan negara seperti pejabat yang korupsi uang milyaran milik negara dapat berkeliaran dengan bebas, sedangkan orang biasa bahkan orang yang terhimpit ekonomi yang terpaksa mengambil sebuah semangka di sawah milik tetangganya, langsung ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Sejak keberhasilan gerakan reformasi melanda bangsa Indonesia, sebutan “supremasi hukum” menjadi kata yang sering diucapkan dan didengar. Istilah ini akan menjadi objek kajian yang menarik dan tidak ada habis-habisnya untuk dibahas. Hal ini disebabkan karena masalah supremasi hukum adalah bukti nyata proses penegakan hukum suatu bangsa. Hukum sebagai aturan, norma, dan kaidah akan selalu mempunyai posisi khas, ia langsung berada dan bekerja di tengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita rasa masyarakat yang terkemas dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu dalam suatu dimensi hukum.
 Bertitik tolak dari pemikiran seperti itu, maka kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan oleh bangsa Indonesia adalah merumuskan kembali sikap menjunjung tinggi “supremasi hukum”, yang baik dan benar di tengah masyarakat yang plural ini. Agar tercipta masyarakat yang madani dan penuh keadilan di segala aspek kehidupan berbangsa.

B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan supremasi hukum?
2.      Bagaimana supremasi hukum dari masa ke masa?
3.      Bagaimana kaitan antara supremasi hukum, demokrasi dan HAM?
4.      Bagaimana menciptakan supremasi hukum yang ideal ?
























BAB II
PEMBAHASAN

Indonesia dikenal sebagai negara hukum, namun kebanyakan dari warga Negara Indonesia  belum mematuhi  hukum-hukum yang berlaku di Indonesia.  Dalam hal ini berarti tujuan hukum yang sebenarnya belum terwujud. Selama ini supremasi hukum merupakan agenda utama setiap pemerintahan, tetapi sampai saat ini impian untuk menegakkan keadilan di bidang hukum belum juga terwujud. Padahal hukum itu adalah kekuatan yang menentukan kehidupan, bukan ditentukan atau dapat diatur sesuai keinginan individu yang berkuasa.
A.      Pengertian Supremasi Hukum
         Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan 3 ide dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
        Untuk lebih memahami tentang supremasi hukum, ada baiknya perlu diketahui pengertian hukum. Di bawah ini ada beberapa pengertian hukum yang dikemukakan oleh para ahli:
  1. Utrecht memberikan batasan hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati.
  2. Prof. Mr. E. M. Meyers menyatakan hukum sebagai semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
  3. Leon Duguit menyatakan hukum sebagai aturan tingkah laku para anggota masyarakat yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar meninggalkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
  4. S. M. Amin, SH menyatakan bahwa kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi itulah yang disebut hukum dan tujuan hukum tersebut adalah menegakkan tata tertib dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.                        (Joko Budi Santoso; 2007: 23)
          Dengan mengetahui beberapa pengertian hukum di atas, maka akan lebih mudah dalam memahami supremasi hukum (khususnya di Indonesia). Pengertian supremasi hukum sendiri adalah upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Hal ini juga termuat dalam UUD ’45 pasal 27 ayat 1, yang berbunyi ”segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajid menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.(UUD 1945)
          Upaya penegakan hukum ada kaitannya dengan tercapainya supremasi hukum. Penegakan hukum yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak ukur untuk keberhasilan suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsanya di bidang hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Sebaliknya pengakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan indikator bahwa negara yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum kepada warganya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam sistem hukum dan faktor-faktor di luar sistem hukum.   (Joko Budi, 2007: 32)
B.  Supremasi Hukum di Era ORBA dan Reformasi
Supremasi hukum merupakan suatu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama tanpa terkecuali. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada era Orde Baru atau pada suatu era dimana rezim Soeharto berkuasa. Pada masa ini seseorang bisa kebal dari hukum apabila mempunyai kekuasaan dan uang. Tuduhan ini bukan tanpa bukti, banyak kasus-kasus pelanggaran hukum serius yang lambat penanganannya karena tersangka utamanya merupakan para penguasa rezim ORBA. Kasus-kasus itu, antara lain;
1.      Kasus kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965-1966.
2.      Kasus penyerangan kantor DPP PDI 27 Juli 1996.
3.      Kasus penjarahan toko-toko milik warga Tionghoa.
4.      Kasus korupsi Jamsostek.
Hal yang sama juga terjadi pada era Reformasi, masa yang seharusnya segalam sesuatu yang buruk telah diperbaiki. Namun, pada kenyataannya untuk keadilan di bidang hukum belum juga tercipta. Salah satunya adalah Amandemen Kedua UUD’45 Pasal 28I ayat (1) : “Bahwasanya seseorang tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.” Dari sedikit petikan bunyi pasal tersebut, dalam ilmu hukum dinamakan prinsip hukum non-retroaktif. Prinsip tersebut bersumber dari asas legalitas von Feuerbach :”tidak ada tindak pidana, tanpa adanya peraturan yang mengancam pidana lebih dulu.” Seperti yang tercantum dalam pasal 1 KUHP kita. Masalah yang muncul apakah prinsip tersebut juga berlaku untuk kejahatan berat? Sebab dalam pasal tersebut tidak membedakan tindak pidana biasa dengan tindak kejahatan kemanusiaan seperti tindak pelanggaran HAM berat. Merujuk pada penjelasan RUU Pengadilan HAM bahwa pelanggaran HAM berat bukan merupakan pelanggaran terhadap KUHP. Sehingga prinsip non-retroaktif perundang-undangan tidak berlaku pada kejahatan kemanusiaan. Meskipun dalam RUU Pengadilan HAM pasal 37 memberlakukan retroaktif perundangan-undangan terhadap kejahatan kemanusiaan, tetap saja RUU tersebut akan gugur karena bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1). Karena sistem hierarki di Indonesia tidak membolehkan hukum yang lebih rendah tingkatannya bertentangan dengan yang lebih tinggi.  
Akan tetapi, pada era ini juga sudah banyak pejabat yang disidangkan karena kasus korupsi, walaupun mereka benar-benar bersalah hanya beberapa saja yang masuk penjara. Ternyata hal ini terjadi penyebabnya tidak lain adalah mau disuapnya aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan.
Dari fakta-fakta yang terungkap di atas menunjukan bahwa supremasi hukum pada era Orba sampai era Reformasi belum terwujud. Hal ini terjadi karena sumber hukum dan aparat penegak hukum belum siap mewujudkan keadilan di bidang hukum.
C. Hubungan Antara Supremasi Hukum, Demokrasi dan  HAM
Supremasi hukum telah mati seiring dengan berjalannya sistem demokrasi di Indonesia. Hal yang paling mendasari adalah besarnya pergesekan kekuatan kepentingan kekuasaan dari beberapa titik pemegang kekuasaan negara. Dalam pelaksanaan demokrasi sangat diperlukan adanya supremasi hukum yaitu menjunjung tinggi peraturan–peraturan yang berlaku untuk mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat demi terciptanya kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Selain dari pada itu juga diperlukan sistem pemerintahan yang demokrasi yaitu sistem pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat yaitu adanya asas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Terakhir adalah HAM (Hak Asasi Manusia), hal ini sangat penting terhadap pelaksanaan supremasi hukum karena berkaitan dengan hak dasar manusia sebagai mahluk Tuhan. Demikianlah hal–hal yang patut diperhatikan dalam pelaksanaan supremasi hukum di Indonesia karena sangat sesuai dan patut pula diperhatikan dalam skala nasional yang bertitik tolak dari UUD 1945 baik Pembukaan, pasal-pasal beserta penjelasannya.
Hubungan antara negara hukum dan demokrasi dapat dinyatakan bahwa negara demokrasi pada dasarnya adalah negara hukum. Namun, negara hukum belum tentu negara demokrasi. Negara hukum hanyalah satu ciri dari negara demokrasi. Demokrasi baik sebagai bentuk pemerintahan maupun suatu sistem politik berjalan di atas dan tunduk pada koridor hukum yang disepakati bersama sebagai aturan main demokrasi. Adapun demokrasi sebagai sikap hidup ditunjukkan dengan adanya perilaku yang taat pada aturan main yang telah disepakati bersama pula. Aturan main itu umumnya dituangkan dalam bentuk norma hukum. Dengan demikian di negara demokrasi, hukum menjadi sangat dibutuhkan sebagi aturan dan prosedur demokrasi. Tanpa aturan hukum, kebebasan dan kompetisi sebagai ciri demokrasi akan liar tidak terkendali. Jadi, negara demokrasi sangat membutuhkan hukum. (Winarno, 2007: 128)
Hubungan antara demokrasi dan hukum sangat erat, dapat dikatakan bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Artinya negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hukum-hukum yang berwatak demokratis, sedangkan di negara-negara yang otoriter aatau non demokratis akan lahir hukum-hukum yang non demokratis.  (Moh.Mahfud, 1999: 53)
Dewasa ini kehidupan ekonomi jauh lebih baik daripada periode-periode sebelumnya berkat pemerintahan yang kuat dan otoritarian sesuai dengan pilihan yang telah dilakukan secara sadar sebagai pecinta hukum. Lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif tanpa mengorbankan persatuan dan kesatuan serta kebutuhan ekonomi dapat lahir di dalam konfigurasi politik yang demokratis untuk melahirkan hukum-hukum yang renponsif itu, diperlihatkan demokratisasi di dalam kehidupan politik. Alasan-alasan untuk melakukan demokratisasi ini sudah cukup jika kesadaran politik masyarakat membaik, Pancasila diterima sebagai satu-satunya asas oleh orpol dan ormas, dan kehidupan ekonomi masyarakat dan pertumbuhannya sudah memadai. Dengan modal itu, proses demokratisasi tidak akan mengancam stabilitas apalagi persatuan kesatuan bangsa. (Moh.Mahfud, 1999:84)
             Peranan supremasi hukum, demokrasi, dan HAM terhadap pelaksanaan pemerintahan sangat penting karena supremasi hukum harus ada,  sebab  negara Indonesia adalah negara hukum atau negara yang sangat menjunjung tinggi hukum ini dapat terlihat juga dari sistem demokrasi yang dianut negara kita yaitu Republik Konstitusi, maka pemerintahan juga harus menjunjung tinggi hukum dalam menggunakan wewenangnya. Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan aspirasi rakyat dalam membuat keputusan bagi rakyatnya karena bagaimanapun juga negara kita adalah negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat, jadi keinginan rakyat tidak bisa dikesampingkan begitu saja oleh pemerintah. Oleh karena itu, badan eksekutif dan badan legislatif dalam melaksanakan tugasnya tidak bisa bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat yang bisa melanggar atau membatasi HAM dari pada itu rakyat itu sendiri.
D. Menciptakan Supremasi Hukum yang Ideal
           Pada pembahasan sebelumnya perkembangan penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Sejak Indonesia merdeka hingga pemerintahan sekarang masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan maupun penyelewengan hukum dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa supremasi hukum belum tercipta di Negara Indonesia. Penegakan hukum sangat perlu yaitu untuk diarahkan pada pola pencegahan segala pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat ataupun badan hukum. Bukti-bukti nyata yang terjadi dalam pemerintakan Indonesia, justru pelanggaran hukum banyak dilakukan oleh kalangan atas, seperti kehakiman, kepolisian dan pejabat-pejabat. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan dan bermacam pelanggaran hukum masih sering terjadi. Artinya, Indonesia adalah negara hukum yang belum sukses mewujudkan supremasi hukum.
           Intregitas kepemimpinan kepolisian, kejaksaan dan mahkamah agung turut pula dipertanyakan, karena sebagai lembaga penegak hukum juga ternyata dominan dengan nuansa politik. Ada kemungkinan niatan yang dilandasi politik akan berujung pada bupaya penegakan hukum, atas produk hukum yang kemudian tak sekedar kertas bertinta emas tapi pengejawantahan kehidupan ketertiban hukum agar terpelihara integritas sosial yang melingkupi masyarakat, pasar dan negara. Bila ini tak terjawab dengan memuaskan, maka akan menimbulkan rasa miris bagi siapapun yang mengetahui kondisi ini. Tetapi semuanya hanya tinggal mimpi untuk menerapkan supremasi hukum di tengah hembusan demokrasi yang didengungkan negara ini, ataukah masih menyisakan harapan bagi terwujudnya negara hukum. (http://persma.com/baca/2009/10/26/matinyasupremasi-hukum-di-tangan-demokrasi.html)
Keberadaan hukum merupakan posisi yang unik dan dapat memberikan dampak bagi lingkungan sekitar, terutama bagi dinamisasi kehidupan masyarakat, antara hukum dengan masyarakat, penjahat dengan pejabat, orang baik-baik, atasan dan bawahan, seharusnya tidak ada tirai pembatas. Oleh karena itu, sifat hukum harus dogmatis dan universal.
Beberapa poin penting untuk bisa mencapai supremasi hukum, bergantung pada bagaimana pelaksanaan hukum itu sendiri. Ada beberapa pendapat tentang tujuan hukum yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencapai supremasi hukum yang ideal.
  1. Teori etis, mengatakan bahwa hukum itu semata-mata menghendaki keadilan. Isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
  2. Geny, mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Sebagai unsur keadilan, ada kepentingan daya guna dan kemanfaatan.(Budiyanto, 2004: 54)
           Beberapa pendapat di atas menyatakan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan keadilan, maka dengan terciptanya keadilan ini maka supremasi hukum dapat terwujud. Namun, dengan banyaknya penyelewengan hukum di Indonesia dapat dikatakan bahwa penerapan keadilan belum terwujud.
          Untuk dapat mencapai keadilan hukum, maka penegakan hukum sangat perlu. Hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh terutama aturan hukum tentang HAM.                   (Sunarso, 2008 : 150)
Dengan adanya praktik politik, maka hal ini juga berpengaruh pada keadaan hukum di Indonesia. Pada konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu, yakni konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif. Karakter responsif maupun konservatif salah satunya ditandai  dalam pembuatan produk hukum yang responsif menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (parsitipatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih didominasi lembaga-lembaga negara terutama pihak eksekutif (sentralistis). (Moh.Mahfud, 1999: 295)
Hukum harus mampu mencerna segala perubahan secara tenang dan baik-baik. Globalisasi, dunia tanpa pembatas, skenario elit politik, suksesi, korupsi, kolusi, nepotisme, supremasi hukum, demokratisasi, HAM, disintergrasi bangsa dan intrik-intrik politik, semuanya harus dihadapi oleh hukum. Hukum harus mampu secara langsung berhadapan dengan perilaku yang muncul tersebut. Sehingga hukum berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat dengan segala perundang-undangan yang berlaku dan harus ditaati masyarakat. Dalam menghadapi perubahan perilaku masyarakat, maka hukum harus dengan cepat beradaptasi dalam perubahan tersebut. Jika terjadi keterasingan masyarakat terhadap hukum maka citra terhadap hukum akan menurun, sebagai konsekuensi, maka sangat diperlukan hukum yang selalu mengikuti konsep, orientasi dan masalah-masalah yang setiap saat bisa berubah secara cepat. Dengan kata lain, supremasi hukum jangan dijadikan hanya sebagai simbol dalam suatu pemerintahan. Hukum tidak hanya merupakan unsur tekstual saja, yang dipandang dari kaca mata Undang-undang. Namun, hukum merupakan unsur kontekstual yang dapat dilihat dari perspektif yang lebih luas. Dalam suasana perubahan yang serba cepat ini, perwujudan supremasi hukum akan memenuhi lebih banyak para pelaksana hukum yang mampu bertanggung jawab, berdedikasi dan bermoral serta mempunyai intelektual tinggi yang mampu mengatasi berbagai permasalahan. (http://bataviase.co.id/content/mmbangun-supremasi-hukum)
Hal itulah yang menjadi poin agar supremasi hukum dapat mencapai standar ideal, unsur-unsur penegak hukum yang seperti itulah yang dibutuhkan untuk menghadapi segala permasalahan agar supremasi hukum dapat terwujud dengan cepat.


















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.   Supremasi hukum adalah upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
 2. Keadilan yang netral artinya setiap orang memiliki  kedudukan dan perlakuan   yang sama tanpa terkecuali. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada era Orde Baru. Beberapa kasus-kasus pelanggaran hukum serius yang lambat penanganannya karena tersangka utamanya merupakan para penguasa rezim ORBA. Kasus-kasus itu, antara lain;
a.       Kasus kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965-1966.
b.      Kasus penyerangan kantor DPP PDI 27 Juli 1996.
c.       Kasus penjarahan toko-toko milik warga Tionghoa.
d.      Kasus korupsi Jamsostek.
Hal yang sama juga terjadi pada era Reformasi, masa yang seharusnya segala sesuatu yang buruk telah diperbaiki. Namun, pada kenyataannya untuk keadilan di bidang hukum belum juga tercipta.
3. Hubungan supremasi hukum, demokrasi, dan HAM adalah hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Supremasi hukum dapat tercipta jika hukum dilaksanakan dengan berdasar pada keadilan. Negara yang demokratis akan akan mewujudkan watak hukum yang demokratis. Tanpa aturan hukum, kebebasan dan kompetisi sebagai ciri demokrasi akan liar tidak terkendali. Dengan adanya demokrasi, maka Hak Asasi Manusia pun akan dijunjung sebagai wujud negara demokrasi yang tertib hukum.
4. Untuk mencapai Supremasi yang ideal maka diperlukan penegakan hukum  yaitu diarahkan pada pola pencegahan segala pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat ataupun badan hukum. Guna perwujudan supremasi hukum yang memenuhi lebih banyak para pelaksana hukum yang mampu bertanggung jawab, berdedikasi dan bermoral serta mempunyai intelektual tinggi yang mampu mengatasi berbagai permasalahan.

B.  Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran, antara lain:   
1. Menindak secara tegas bagi para pelanggar hukum di semua kalangan, baik yang ada di masyarakat, maupun di kalangan pejabat.
2. Diharapkan seluruh komponen masyarakat di Indonesia dapat memahami arti serta perlunya hukum serta menerapkan hukum yang berlaku sehingga dapat ditegakkannya supremasi hukum yang bertujuan keadilan sosial.
3. Menghindari kasus-kasus penyelewengan hukum, seperti korupsi dan penyuapan di manapun kita berada.






















DAFTAR PUSTAKA

Ajat M Fajar. 100 Hari SBY-Boediono, Supremasi Hukum Masih Lemah.

Anang Usman. Supremasi Hukum, Kenyataan yang Sulit Terwujud. Diambil pada tanggal 6 Maret 2010, dari http://forum.polwiltabessurabaya.net/viewtopic.php
Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan untuk SMA kelas X. Jakarta : Erlangga.
Diakses pada hari Kamis tanggal 4 Maret 2001 dari http://tanyasaja.detik.com/pertanyaan/12580-apa-pengertian-supremasi-hukum.

Diakses pada hari Kamis tanggal 4 Maret 2001 dari http://bataviase.co.id/content/mmbangun-supremasi-hukum


Joko Budi Santoso. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMK Kelas X. Jakarta : Yudhistira.
Kusumohamidjojo, Budiono. 1999. Ketertiban yang Adil, Problematik Filsafat Hukum. Jakarta : Grasindo.
Moh. Mahfud. 1999. Pergulatan politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta : Gama    media.
Sunarso, dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan tinggi. Yogyakarta : UNY press.
Winarno. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi. Jakarta : Bumi Aksara.
Tim Redaksi Pustaka Setia. 2010. UUD 1945. Pustaka Setia. Band

Tidak ada komentar:

Posting Komentar